KETIKA NALAR ORGANISASI DI LUAR “NURUL”

 

KETIKA NALAR ORGANISASI DI LUAR “NURUL”

Oleh: Cak Nur (Sekretaris PGRI Kab. Bondowoso)


Dalam sebuah organisasi apapun, kita punya nalar organisasi yang dijiwai oleh AD ART yang disepakati bersama sebagai “perjanjian” yang mengikat dalam berpikir, bertindak, memutuskan berbagai langkah organisatoris yang kita pilih bersama sebagai final decision. Sebagai seorang organisator PGRI, kita para guru sebagai seorang profesional yang menjadi anggotanya, tentu sangat memahami bagaimana seharusnya berkomitmen sepenuhnya terhadap nalar organisasi dalam mengambil sebuah keputusan. Sebagai organisator, kita tentu tersentak dengan gonjang ganjing yang terjadi di PGRI, termasuk yang akhir-akhir ini terjadi yaitu kasus pengukuhan dan pelantikan pengurus kabupaten/kota di beberapa daerah di Tapal Kuda. Nalar organisasi mana yang bisa menerima? Sebab final decision yang diambil dengan terang benderang di depan mata analisis sederhana seorang yang bisa membaca AD ART PGRI dengan skimming sekalipun, terasa di luar “nurul” (kata kaum milenial untuk menyebut sesuatu diluar nalar sehat).

Kita setuju dengan seorang aktivis senior PGRI, yang mengatakan bahwa KLB bukan barang haram dalam organisasi PGRI. Namun tentulah harus dilakukan sesuai dengan AD/ART yang menjadi perjanjian bersama kita. Jika di AD/ART mempersyaratkan syarat tertentu yang harus dipenuhi, dan ternyata dapat dipenuhi, tentu nalar organisasi kita semua bisa menerimanya dan tidak akan terjadi perbedaan pendapat. Jika kemudian terjadi sebaliknya, maka tentulah nalar organisasi semua anggota akan menjawabnya dengan sepakat sungguh di luar “nurul”. Tidak dapat diterima nalar. Menyalahi perjanjian dan kesepakatan kita, atau kata Rocky Gerung tak sesuai dengan pacta sunt servanda atau perjajian yang disepakati.

Demikian pula kita bisa menganalisis apa yang terjadi dengan kasus pengukuhan dan pelantikan pengurus PGRI kabupaten/kota di beberapa daerah di Tapal Kuda. Nalar organisasi mana yang bisa menerima, ketika acara yang digelar telah menabrak AD/ART PGRI sebagai pacta sunt servanda kita. 

Ada beberapa tindakan organisasi yang diluar “nurul” dalam kasus pengukuhan dan pelantikan tersebut. Pertama, telah tidak dilakukan melalui forum Konferensi Kabupaten/Kota, seperti yang terdapat pada Bab XXV pasal 40 tentang Forum Organisasi di PGRI. Kedua, telah terjadi pelanggaran pada ART PGRI Bab V pasal 2 yang menyatakan bahwa dalam satu wilayah organisasi PGRI kabupaten/kabupaten administrasi/ kota/kota administrasi dilarang didirikan organisasi PGRI kabupaten/kabupaten administrasi/ kota/kota administrasi lain yang mempunyai batas wilayah yang sama. Ketiga, pengurus harian yang dilantik bertentangan dengan ART Bab VIII pasal 28 ayat 2 tentang syarat pengurus. Bahwa untuk menjadi anggota pengurus PGRI di semua tingkat wajib memenuhi  syarat khusus: a) pernah duduk dalam kepengurusan perangkat organisasi PGRI pada tingkat yang sama atau paling rendah 2 (dua) tingkat di bawahnya  kecuali untuk pengurus cabang/cabang khusus dan ranting/ranting khusus (hanya berlaku untuk pengurus harian), b)bekerja dan atau bertempat tinggal di wilayah kerja organisasi. Keempat, pada pasal 37 tentang pemilihan pengurus kabupaten kabupaten haruslah dipilih dalam konferensi kabupaten bukan ditunjuk oleh Pengurus Propinsi. Itupun harus melalui pengusulan bakal calon pengurus yang harus terdaftar dalam daftar calon yang diusulkan oleh pengurus cabang/cabang khusus, dan pengurus ranting/ranting khusus, dan/atau perwakilan anggota.

Melihat ini semua, bagaimana kita bisa bersikap?. Memilih sikap seperti Gunawan Muhammad budayawan yang menangis menyesali pilihannya, atau seperti Rocky Gerung tertawa cekikikan kepada lawan debatnya yang tidak bernalar, atau kita memlih manhaj Nabi Nuh, yang terus mengajak kaumnya untuk naik bahtera, sebelum tenggelam dalam banjir bandang yang menyamudera?.





Next Post
No Comment
Add Comment
comment url