MEWUJUDKAN GURU BERMUTU DI TENGAH DISRUPSI
MEWUJUDKAN GURU BERMUTU DI TENGAH DISRUPSI
DISUSUN OLEH : SEPTIANA AGUSTIN, S.Pd.,M.Pd.
Ragam pergerakan masif di era disrupsi
terus menerus dilakukan oleh para pemangku jabatan kaitannya dengan
perkembangan IPTEK yang kian melesat. Hampir di berbagai kalangan mengalami apa
yang disebut dengan gebrakan fundamental. Hal-hal yang sebelumnya dianggap tabu
menjadi konsumsi yang layak diketahui oleh masyarakat luas. Prinsip dasar
yang seharusnya berlaku
untuk kalangan tertentu, menjadi hal yang wajar di mata khalayak. Inilah
yang menjadi catatan penting untuk sekadar diketahui, bahwasannya perkembangan
dunia baik nyata maupun maya sama-sama berjalan beriringan dan tidak dapat
dipisahkan.
Era disrupsi merupakan
sebuah istilah perkembangan zaman yang berfokus pada karya-karya inovatif yang
kreatif dan menginspirasi banyak orang. Sebuah
titik balik perubahan
yang dilakukan secara besar-besaran hingga mengubah tatanan
masyarakat luas. Kelompok
usia yang tergolong
muda saat ini secara
gampang
(mudah) dan gamblang (jelas) dapat membaca situasi
dan menyesuaikan diri. Namun
demikian, bagi masyarakat dengan sumber daya manusia yang rendah
akan kesulitan untuk menentukan arah perkembangan yang begitu dinamis
saat ini.
Setiap orang ada masanya dan setiap masa
ada orangnya. Sudah selayaknya bagi masyarakat untuk terus beradaptasi dan
bersedia mengikuti laju pergerakan teknologi yang berkembang dengan sangat
pesat. Tidak ada hal yang sulit ketika betul-betul mau memahami dan berusaha untuk menyesuaikan diri.
Kebanyakan di kelompok usia tertentu, khususnya di atas
50 tahun merasa sudah bukan waktunya lagi untuk bergabung dan tergabung dalam
euphoria zaman now.
Sebetulnya, ketika dipelajari
dengan sungguh-sungguh dan memiliki usaha kuat untuk mempelajari masih bisa.
Namun, ketika sudah tidak ada gairah untuk berubah, motivasi untuk
mengembangkan diri, dan semangat kuat menyongsong dinamika
perubahan maka yang terjadi
adalah mereka akan terlindas oleh arus pergerakan zaman.
Hal ini pun berlaku bagi jajaran
pendidik tanah air yang hingga sekarang masih
stag (berhenti) di zona nyaman dan tidak mau melakukan perubahan
apapun. Mereka terbiasa dengan
bekerja santai, tanpa dikerjar target, sehingga minat juang yang
rendah. Segala sesuatu yang dirasa sulit dapat dengan mudah minta bantuan orang
lain. Jika terus menerus dilakukan, maka selamanya akan selalu bergantung juga kepada
orang lain, khususnya yang lebih muda dan berkompeten. Istilah yang
sering terdengar adalah
“yang senior bisa istirahat, biar yang muda saja, masih
fresh (segar) dan tenaganya pasti mampu”. Ketika
ditelusuri lebih dalam lagi, sebetulnya bukan soal tenaga dan wawasan,
akan tetapi lebih kepada mental. Itulah mengapa pada periode sebelumnya
digaungkan tentang adanya revolusi mental. Sebuah gebrakan yang mengubah
paradigma atau konsep berpikir seseorang agar lebih maju dan mau diajak maju
khususnya mengembangkan diri di dunia pendidikan. Akan tetapi, sampai saat ini masih banyak deretan
guru yang enggan
berpartisipasi menjadi agen perubahan untuk memajukan generasi masa
depan.
Adapun ciri-ciri perkembangan dunia
pendidikan yang mengarah pada disrupsi, antara lain: (1) kemampuan memecahkan
masalah, yaitu suatu bentuk upaya yang dilakukan untuk menemukan jalan keluar dari suatu permasalahan yang dihadapi; (2) kemampuan untuk berpikir kritis, yaitu
kemampuan mengalisis masalah dari berbagai sudut pandang kemudian menemukan
cara penyelesaiannya berikut dengan
konsekuensi yang dihadapi setelahnya; (3) kemampuan berpikir kreatif, yaitu
kemampuan melahirkan ide-ide
baru yang sebelumnya belum pernah ada; (4)
kecerdasan emosional, yaitu seni memahami karakter diri sendiri juga orang lain
sesuai takaran yang terukur; dan (5) literasi digital, yaitu kemampuan
menggunakan teknologi digital sesuai dengan perkembangan zaman.
Untuk dapat menguasai kemampuan yang
dapat digunakan dalam menghadapi era disrupsi ini memerlukan sebuah proses yang
panjang. Setiap guru perlu memiliki
kemampuan tersebut sebagai dasar
untuk meningkatkan kualitas di
bidang pendidikan. Kualitas pendidikan akan meningkat jika para guru untuk
menyelenggarakan pembelajaran dengan kreatif dan menjalankan kewajibannya
dengan penuh tanggung jawab (Chatib, 2011). Oleh sebab itu, sekolah khususnya
pendidik merupakan pihak yang bertanggung jawab atas keberhasilan siswa tanpa
mempedulikan berbagai kondisi pribadi, latar
belakang ekonomi, dan faktor sosial
yang mempengaruhinya (Mendler, 2010).
Berdasarkan survei yang mengambil sampel
sebanyak 28 dari 168 guru di kecamatan Curahdami, Kabupaten Bondowoso
didapatkan hasil bahwa sebagian besar guru sudah memahami dan menjalani
pergerakan perubahan di era disrupsi. Sampel
yang diambil terdiri
dari guru berstatus
PNS dan juga PPPK. Secara
proporsional diambil dari masing-masing gugus sekolah, yaitu Gusek 1, 2, 3 dan 4. Rentang usia pengambilan sampel ini
beragam, yaitu antara 30 sampai 50 tahun.
Hasil
survei menunjukkan bahwa
para guru telah
memahami berbagai macam karakteristik peserta
didik yang tampak
dari prosentase sebanyak
100%. Hal ini pun
sejalan dengan keterlibatan guru dalam menyusun
program serta ragam kegiatan di sekolah. Prosentase menunjukkan bahwa
sebanyak 92,7% guru memiliki strategi untuk
mengatasi murid yang lamban belajar.
Sebanyak 21,4% masih ada guru yang
tidak terlibat dalam penyusunan visi misi sekolah.
Sebanyak 28,6% masih ada guru yang jarang menggunakan alat peraga
dalam kegiatan pembelajaran untuk murid. Sebanyak 14,3% masih ada guru yang
tidak terbiasa menggunakan ice breaking untuk
mencairkan suasana pembelajaran yang mungkin terasa menjenuhkan di dalam kelas
atau sekadar untuk refresh pikiran
murid.
Selain mendidik dan
memfasilitasi kegiatan belajar murid di sekolah, guru juga perlu
memahami betul kondisi
dan latar belakang
murid-muridnya. Salah satu hal
yang dapat dilakukan
adalah home visit. Prosentase menunjukkan bahwa sebanyak
53,6% para guru memiliki jadwal
kunjungan ke rumah-rumah murid. Meski hanya sebentar dan berkala, para guru perlu
sewaktu-waktu berkeliling dan menjalin hubungan yang baik dengan
orang tua atau wali murid melalui kunjungan. Kemudian, masih ada prosentase sebanyak 7,1% guru yang belum dapat mengoperasikan komputer dengan baik. Sebanyak 17,9% guru belum mampu
mengolah nilai dan membuat rapor menggunakan aplikasi
atau berbasis komputasi. Berdasarkan hasil survei, dapat disimpulkan bahwa ketidakmampuan sebagian
guru dalam menghadapi dan menyikapi era disrupsi perlu dibantu. Kurangnya informasi
tentang komputasi dan digitalisasi mungkin
membuat mental rendah diri
bagi guru yang gagap teknologi. Inilah yang menjadi peluang baik dan juga kesempatan untuk melatih kemampuan
diri sendiri dan menularkan ilmu kepada mereka yang membutuhkan. Tidak perlu berhemat
soal ilmu, karena semakin banyak memberi ilmu, maka akan semakin besar dampak yang akan
diterima di kemudian hari. Untuk itu, diperlukan sebuah strategi agar guru yang kurang memahami dan juga belum mampu
beradaptasi dengan era disrupsi dapat terangkul dengan baik. Tidak ada yang tertinggal apa tertindas dengan kemajuan
zaman, melainkan semua guru dapat menjadi duta-duta
perubahan di kancah pendidikan nusantara.
Anthony, Parrewe, dan Kacmar (2013)
mengemukakan bahwa strategi merupakan sebuah formulasi misi dan tujuan
organisasi, yang di dalamnya ada rencana aksi untuk mencapai tujuan secara
eksplisit dengan mempertimbangkan kondisi persaingan dan pengaruh kekuatan dari
luar organisasi yang secara langsung atau tidak berpengaruh. Ditegaskan pula oleh Stephanie
K. Marrus (2002) yang menyatakan bahwa strategi
merupakan proses penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada
tujuan jangka panjang organisasi, disertai penyusunan suatu cara atau upaya
bagaimana agar tujuan tersebut dapat dicapai.
Strategi yang diciptakan dengan matang,
kemudian dikembangkan oleh tim yang solid, maka akan tercipta sinergi positif
dan menjadikan prosesnya menjadi lebih mudah. Setiap anggota di dalam tim atau
komunitas akan betul-betul memahami posisi dan fungsinya masing-masing,
sehingga tercipta sistem kerja yang holistik. Kendala yang nantinya mungkin
dihadapi, tentunya dapat teratasi dengan kinerja tim yang solid. Sehingga,
tujuan dari penerapan strategi itu akan tercapai secara efektif dan efisien.
Strategi yang dapat digunakan untuk
mewujudkan guru bermutu di era disrupsi ini adalah dengan metode kooperatif,
Sebuah kerjasama tim yang mengerahkan seluruh anggota untuk berkolaborasi
secara aktif, sehingga memuculkan sinergi baik dalam sebuah komunitas. Dalam
hal ini komunitas di sekolah adalah komunitas
praktisi dan komunitas belajar. Metode kooperatif dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif metode yang
digunakan untuk merancang kegiatan pembelajaran, baik di sekolah dasar,
menengah, maupun atas (Muliani, Natajaya, dan Sunu, 2015; Suwarjana, Natajaya,
dan Sanjaya, 2015; Octaviyani, Sanjaya, dan Adnyani, 2015). Dalam hal ini,
kepala sekolah dapat mendasari strategi dengan menciptakan iklim kooperatif. Dengan terciptanya lingkungan yang kondusif, maka strategi
yang digaungkan akan terlaksana dan tercapai secara
efektif dan efisien.
Baik kepala sekolah maupun guru, semua
perlu bekerjasama dan bekerja bersama-sama demi memajukan
dan melaksanakan visi lembaga. Salah satunya
adalah dengan memanfaatkan teknologi digital yang dapat
digunakan untuk mendukung pengetahuan dan juga kegiatan pembelajaran siswa
(Chiou, 1995; Gunawan, 2017). Selain itu juga bekerjasama dengan pihak terkait
atau para stakeholder setempat. Jika
seluruh warga sekolah dapat bekerjasama dengan baik, maka akan tercipta
karya-karya kreatif dan sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa teknologi virtual membuka peluang begitu besar yang
memungkinkan setiap orang dapat
membuat jejaring secara luas (Schools, 2010).
Kesimpulan yang dapat dipetik yaitu
bahwasannya seseorang akan mampu mengerjakan
sesuatu yang sudah
menjadi kebiasaan, atau terbiasa mengerjakannya. Namun, motivasi terbesar
bukan muncul dari orang lain melainkan timbul dari dalam diri sendiri. Oleh
karena itu, mencoba hal baru kemudian membiasakannya itu perlu waktu untuk
berproses. Tidak instan, bahkan seringkali mengalami kesalahan juga kegagalan. Hal itu bukan menjadi suatu
hal yang memalukan
lantas ditinggalkan begitu saja karena merasa tidak mampu. Ketika dirasa
tidak mampu, guru bisa belajar kepada yang lebih tahu. Tidak perlu merasa
sungkan atau malu, karena kemauan belajar adalah sesuatu yang layak untuk
diapresiasi.
Prinsip
belajar sepanjang hayat menjadi hal yang utama bagi seorang
guru di segala zaman. Guru
tidak hanya memiliki hati yang tergerak sebagai pendidik, melainkan juga
bergerak untuk selalu adaptif dengan perubahan. Guru perlu memotivasi dan memacu semangat untuk bergerak mengembangkan kapasitas dan kualitas diri agar semakin baik dan maju lagi. Menanggalkan
paradigma lama dan memiliki cara pandang baru terhadap dinamika perubahan
khususnya di dunia pendidikan. Era disrupsi menjadi motivasi tersendiri untuk
para guru dapat terus berupaya membekali diri dengan ragam pengetahuan,
pengalaman, dan wawasan. Sehingga, nantinya guru akan mampu menggerakkan para
peserta didik untuk menjadi inovatif, kreatif, dan melakukan banyak hal yang
menginspirasi banyak orang, serta bijak dalam menyikapi dampak disrupsi
khususnya di bidang pendidikan.
Lampiran
1 Daftar Pustaka
Anthony, W.P, Parrewe, P. L, and Kacmar.
2013. Strategic Human Resource Management. Orlando: Harcourt Brace and company
Chatib, M. 2011. The Master
of Man. Bandung: Kaifa
Learning.
Chiou, G.F. 1995. Learning Rationales and Virtual
Reality Technology in Education Journal
of Educational Technology Systems, 23(4), 327-336.
Danim, Sudarwan. 2004. Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Gunawan, et al. (2017). The Effect of
Project Based Learning With Virtual Media Assistance on Student’s Creativity in
Physics. Cakrawala Pendidikan Journal. 36, 167-179.
Mendler, Allen
N., 2010. Mendidik dengan
Hati. Bandung: Kaifa.
Muliani, P., Natajaya, I., dan Sunu, I.
(2015). Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament
(TGT) Untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran
Pkn Kelas VII 4 di SMP Lab Undiksha. Jurnal Jurusan Pendidikan PKn. Volume 3,
Nomor 1.
Octaviyani, I., Sanjaya, D., dan
Adnyani, N. (2015). Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games
Tournaments (TGT) Berbantuan LKS untuk Meningkatkan Hasil Belajar PKn dan Sikap
Sosial Pada Siswa Kelas VIII C di Smp N 3 Singaraja. Jurnal Jurusan Pendidikan PKn. Vol 3, No 1.
Schools. (2010).
21st century teacher. United Kingdom: Becta.
Stephanie, K. Marrus. 2002. Desain
Penelitian Manajemen Strategik. Jakarta: Rajawali Press.
selengkapnya ada di link https://drive.google.com/file/d/1Ph0FymbYobfteJFrF88TfsLIz3E6-fgv/view?usp=sharing
Semoga bisa bermaanfaat utk dunia pendidikan
Secara keseluruhan, ini adalah bacaan yang layak diapresiasi dan dapat menjadi inspirasi bagi guru untuk terus berkarya di tengah berbagai tantangan. Luar biasa!
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Mantul pak ...terus berkarya lambang guru profesional